Pemerintah Indonesia dalam RAPBN tahun 2011, menganggarkan subsidi untuk energi sebesar 131,8 Trilyun dimana 91,8 dialokasikan untuk subsidi BBM dan 41 Trilyun untuk Listrik[1]. Sungguh sangat memprihatinkan kondisi seperti ini dimana subsidi besar-besaran yang sebenarnya diberikan untuk membantu mereka yang tidak mampu, ternyata sebesar 77% dinikmati oleh orang-orang kaya[2]. Akankah kita membiarkan kondisi seperti ini terus terjadi?. Saya rasa kita sebagai orang normal yang diberikan akal dan pikiran oleh Allah untuk mampu berfikir, pastinya ingin adanya perubahan dalam tragedi ini.
Untuk mengatasinya, sebaiknya dilakukan dengan perubahan yang kecil secara bertahap yaitu melakukan pembatasan subsidi tersebut. Semestinya sejak era Orde Baru subsidi BBM sudah dicabut/dibatasi, karena pada masa itu harga minyak masih murah sehingga mampu mendidik mental masyarakatnya untuk membeli sesuatu dengan harga yang pantas. Kalau saat ini, masyarakat sudah termanjakan dengan hal yang dianggap ‘wajar’ tersebut. Akan tetapi yah sudahlah, kita tidak usah mempermasalahkan yang telah lalu karena tidak ada gunanya lagi sekarang.
Langkah pertama adalah subsidi BBM segera dibatasi. Hal ini tentu akan mampu mendidik semua orang bahwa energi itu memang mahal dan tidak sepantasnya diboroskan dengan hal yang sia-sia. Jadi, semacam ‘pemaksaan’ program penghematan yang tidak menzholimi semua pihak. Adapun untuk usaha/industri kecil yang tidak mampu survive dengan kondisi seperti ini, maka mereka mendapat bantuan khusus oleh pemerintah agar tidak terjadi dampak berkelanjutan seperti pemecatan karyawan dan lesunya perekonomian yang nantinya akan berakibat balik terhadap pemerintahan sendiri. Mungkin dapat dibentuk subdepartemen tersendiri di Kementerian UKM yang khusus melayani mereka.
Jadi, mekanismenya adalah subsidi BBM dibatasi secara bertahap mulai dari bahan bakar yang memang dominan dipakai oleh orang-orang mampu, mungkin Solar dan Pertamax .Lalu selanjutnya disusul oleh premium dan minyak tanah. Pertanyaannya, Siapkah kita subsidi dibatasi mulai bulan ini?, yah harus siap!. Inilah kondisi riil bangsa, harus realistis dan logis. Masyarakat harus sadar akan hal itu. Biasanya kondisi kepepet/terdesak malah yang membuat seseorang bisa lebih kreatif dan inovatif dengan keluar dari zona nyamannya.
Pemerintah harus getol menginformasikan program-program penghematan energi ke masyarakat. Sehingga dengan informasi yang ada, membuat masyarakat tidak berprasangka buruk dan berempati terhadap kondisi bangsa. Dengan kondisi seperti ini, sangat dibutuhkan peran media untuk bekerja sama dengan pemerintah mensosialisasikan pandangan-pandangan hemat energi ke masyarakat.
Selanjutnya pembatasan subsidi listrik. Pemerintah harus jeli melihat semua problematika kelistrikan yang ada di masyarakat karena dengan asal-asalan menaikkan harga listrik maka akan menjadi boomerang hebat terhadap pemerintahan sendiri. Menurut hemat saya, yang harus dinaikkan pertama-tama listrik rumah tangga. Kenapa? karena di rumah tanggalah harga listrik yang paling murah dan yang paling banyak terjadi pemborosan[3] yang sebenarnya tidak perlu terjadi. Dengan begini, masyarakat ‘dipaksa’ untuk sadar. Selanjutnya, menyusul pembatasan terhadap tarif listrik golongan bisnis dan industri. Untuk Industri, mungkin secara umum pemerintah dapat menaikkan harga namun seperti yang saya katakan sebelumnya bahwa untuk usaha/industri kecil yang tidak mampu survive dengan kondisi seperti ini, maka mereka mendapat bantuan khusus oleh pemerintah agar tidak terjadi dampak berkelanjutan lainnya. Caranya dengan membuat parameter-parameter usaha/industri kecil yang layak dibantu.
Adapun dampak positif dari pembatasan subsidi energi ini adalah pemerintah dapat mengalokasikannya ke pos-pos pengeluaran yang lain yang sebenarnya lebih membutuhkan contohnya seperti pendidikan dan kesehatan masyarakat. Coba bayangkan, subsidi yang senilai 131,8 Trilyun tersebut akhirnya dialokasikan ke pendidikan dan kesehatan. Berapa banyak anak-anak kurang mampu yang bisa disekolahkan oleh negara dengan pendidikan gratis sampai ke tahap perguruan tinggi sehingga mampu memperbaiki taraf hidup dirinya, keluarganya dan bangsanya kelak. Juga berapa banyak masyarakat yang dapat ditolong karena penyakit yang menghinggapinya.
Selain itu, pembatasan subsidi ini mampu mengubah pola hidup masyarakat yang tadinya terkesan kurang peduli dengan penghematan energi, akhirnya mau tidak mau harus peduli. Kalau sebelumnya masyarakat kaya memboroskan energi karena alasan mempunyai banyak uang, yah mungkin dengan pembatasan subsidi ini akan membuat masyarakat kaya berfikir kembali untuk meneruskan sifat borosnya tersebut.
Dampak positif lainnya, BUMN seperti Pertamina dipaksa untuk bekerja lebih professional karena masyarakat mungkin akan sedikit banyak melirik perusahaan penjual bensin lainnya milik perusahaan asing seperti Total, Petronas dll yang kita lihat saat ini masih sepi pengunjungnya.
Dampak negatif dari isu pembatasan ini, beberapa pelaku ekonomi di sektor BBM akan membuat suatu penimbunan besar-besaran yang akan mengakibatkan kelangkaan BBM tersebut selama beberapa waktu di masyarakat sebelum akhirnya harga BBM dipastikan naik. Dengan kenaikan harga BBM dan Listrik, juga terjadi kemungkinan akan ada beberapa industri kecil yang memilih gulung tikar karena tidak sanggup dengan biaya operasional industrinya tersebut dan hal inilah yang saya katakan dari awal tadi bahwa harus turut diperhatikan pemerintah karena bila banyak yang gulung tikar akan menjadi polemik tersendiri kedepannya.
Dampak negatif lain, harga transportasi umum juga akan meningkat. Padahal dalam melakukan penghematan energi salah satunya adalah dengan mengajak masyarakat untuk lebih memilih menggunakan transportasi umum daripada transportasi pribadi dan ini akan menjadi dilema tersendiri. Untuk itu, pemerintah mungkin membuat mekanisme khusus untuk transportasi umum diberikan dispensasi harga bahan bakar yang sesuai sehingga tidak terjadi kenaikan ongkos transportasi tersebut. Mungkin dengan memberlakukan program‘bensin khusus Pak Supir Angkot’ barangkali.
Akan tetapi, program diatas juga mengandung risiko yang tidak kalah parahnya. Ada kemungkinan para pengendara plat kuning tersebut akan beralih profesi menjadi pedagang premium di pasar gelap. Dengan membeli bensin murah khusus supir, lalu dijual kembali dengan margin 1.000 perak perliter misal dalam sehari terjual 50 liter maka selama sehari dia akan mengantongi 50.000. Hal ini sangat perlu diwaspadai dan disadari oleh semua pihak. Pemerintah harus membuat pola penjualan yang tepat agar nantinya tidak disalahgunakan.
Dampak negatif selanjutnya adalah naiknya harga barang kebutuhan pokok. Hal ini yang selalu terjadi setiap kenaikan BBM ataupun TDL. Masyarakat yang tadinya ‘dipaksa’ untuk berhemat listrik, dengan adanya dampak ini juga haruslah berhemat kebutuhan sehari-hari. Bagi mereka yang tidak mampu mungkin akan lebih menderita, namun alokasi subsidi BBM dan TDL tadi bila digunakan untuk program BLT (Bantuan Langsung Tunai) setidaknya meringankan beban mereka.
Untuk menentukan apakah perekonomian Indonesia akan lebih baik, tentu saja tidaklah gampang. Perhitungan yang dilakukan adalah secara holistik. Sepertinya memang pertumbuhan ekonomi Indonesia akan menurun untuk beberapa saat kedepan karena minat asing dan lokal berinvestasi berkurang diakibatkan meningkatnya ongkos operasional industri kedepannya. Akan tetapi, tidaklah sampai menimbulkan kekacauan yang luar biasa sehingga para pelaku ekonomi akan lebih mencari usaha yang lebih murah biaya operasionalnya. Sebenarnya hal utama yang menarik para investor untuk berinvestasi adalah kestabilan suatu negara. Jadi, apabila dengan pembatasan subsidi ini membuat kondisi bangsa menjadi stabil, saya rasa efek kenaikan harga energi di Indonesia tidaklah begitu lama. Jadi, saya yakin secara umum pembatasan energi ini malah yang akan membuat kondisi negara menjadi stabil dan membuat pertumbuhan ekonomi bangsa akan meningkat.
Jika ditanya, apakah pembatasan subsidi ini mungkin untuk tidak dilakukan?. Jawabannya adalah mungkin saja. Caranya adalah pemerintah menekan perusahaan perminyakan dan pertambangan yang ada di Indonesia untuk mereview kembali kontrak kerja mereka. Contohnya saja gas. Gas ini sangat menguntungkan bila digunakan sebagai bahan bakar pembangkit listrik. Akan tetapi, karena kontrak dengan perusahaan gas yang ada ternyata tidak menguntungkan bangsa dan hanya segelintir orang. Sehingga banyak sekarang di Indonesia yang tadinya pembangkit berjenis PLTG (Pembangkit Listrik Tenaga Gas) akhirnya malah ‘diberi makan’ dengan solar[4] karena gas-gas yang dimiliki lebih ditujukan untuk dijual ke luar negeri dan hal itu tidak diperketat dalam kontrak kerja yang ditandatangani pemerintah sebelumnya. Akibatnya, biaya pokok pembangkitan listrik menjadi semakin meningkat. Sungguh bertolak belakang sekali, Indonesia yang merupakan salah satu negara penghasil gas terbesar di dunia namun kekurangan gas dalam memenuhi kebutuhan rumah tangganya karena gas tersebut dijual keluar negeri.
Akan tetapi, bila review kontrak kerja dilakukanpun saya tidak merekomendasikan untuk tetap tidak melakukan pembatasan subsidi energi tersebut. Subsidi kerapkali dipelintir oleh berbagai kepentingan. Lagipula, siapa yang berani menjamin bahwa semua subsidi tersebut benar-benar sampai ke tangan rakyat. Dengan begini, selain rakyatnya lebih mandiri tidak ada alasan lagi yang digunakan sebagai pembenaran oleh pemerintah terhadap segala bentuk pelayanan publik yang masih kacau balau juga pembangunan yang masih tersendat-sendat.
Solusi lainnya adalah tiap-tiap daerah berusaha mengembangkan energi alternatif yang cocok untuk diterapkan untuk memajukan daerahnya tersebut. Pemerintah daerah sebaiknya juga ikut membantu PLN untuk meningkatkan energi di daerahnya masing-masing sehingga terjadi kemandirian daerah yang nantinya akan membuat ketangguhan energi bangsa. Contohnya saja Pemda PAPUA yang membangun PLTA Urumuka berkapasitas 300 MW[6] sehingga mampu menyediakan energi yang murah untuk masyarakatnya.
Saat berita pengurangan subsidi energi dimunculkan, reaksi dari berbagai pihak luar khususnya IMF setuju dengan adanya rencana tersebut. Banyak pihak yang menilai bahwa IMF merencanakan sesuatu terhadap perekonomian bangsa dan saya rasa wajar bila kita harus mencurigainya. Namun, selama hal tersebut memang berasal dari pemerintah sendiri tanpa ada intervensi pihak asing seperti yang disampaikan oleh Hatta Rajasa bahwa penurunan subsidi dalam RAPBN 2011 bukan desakan dari Dana Moneter Internasional (IMF)[7]sehingga sepertinya kita tidak perlu takut akan hal tersebut.
Kesimpulannya, subsidi energi memang harus segera dibatasi namun harus ada dispensasi khusus terhadap usaha/industri tertentu dengan parameter-parameter tertentu sehingga nantinya tidak memunculkan dampak yang baru pula. Solusi penanganan energi juga harus diperhatikan pemerintah terutama dalam pengembangan energi alternatif yang murah sehingga nantinya masyarakat tidak bergantung pada energi fosil yang ada yang harganya terus melambung. Sehingga dengan adanya energi alternatif tersebut diharapkan kemandirian energi bangsa akan tercipta.
Referensi :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar