Jumat, 18 Maret 2011

Tragedi : Biaya Pencatutan Nama dalam Proyek di Indonesia


Sebenarnya gejala Pencatutan Nama ini sudah umum dan bahkan dianggap ‘wajar’ oleh sebagian masyarakat terlebih lagi oleh kebanyakan ‘mahasiswa’. Mungkin ada yang menanyakan sebenarnya apa yang dimaksud dengan pencatutan nama. Hmm, begini! bila dalam perlombaan ide bisnis, nama kamu dicatut tanpa/telah diberitahu bahwa nama kamu diikutsertakan dalam lomba tersebut sedangkan kamu tidak turut berpartisipasi apapun didalamnya. Dengan catatan, nantinya kamu bakal mendapatkan bagian dari hasil lomba tersebut (bila menang!). Nah, gimana? sudah kebayangkan apa yang dimaksud dengan mencatut nama?.
Ternyata, kasus serupa juga terjadi di masyarakat terutama jajaran pegawai negeri/pegawai negeri sipil yang melakukan suatu proyek tertentu. Sebut saja namanya Sugeng (bukan nama sebenarnya), beliau adalah seorang PNS yang bekerja di bagian pengawasan proyek tertentu. Lika-liku kehidupannya dalam mengawasi keberjalanan sebuah proyek akan saya kupas dalam artikel ini sehingga membuka wawasan kita tentang ketidakefektifan sistem yang diterapkan pada proyek itu sendiri.
Seperti yang diketahui bersama bahwa dalam proyek, semua biaya harus dirinci dengan jelas dan akurat agar dalam tender bisa dilihat kelayakannya (adapun additional tips untuk memenangkan tender, akan saya jelaskan di artikel mendatang :P ). Nah, setelah proyek tersebut lolos, maka akan ada pihak yang mengawasi keberjalanan proyek tersebut. Ada aturan yang harus diperhatikan oleh para pengawas bahwa jumlah minimal pengawas sekitar 5-8 orang. Ini berarti, uang tambahan (perjalanan dinas) untuk pengawas tidak akan cair sebelum jumlah mereka mencapai standard yang telah ditentukan.
Nah, karena peraturan ini sifatnya general padahal sifat proyek itu sendiri khusus/berbeda-beda maka terjadilah apa yang saya sebut dengan tragedi. Mengapa disebut tragedi? karena peraturan yang general tersebut, akhirnya ‘memaksa’ petugas yang bersangkutan untuk mencatut nama-nama orang lain (bila jumlahnya tidak mencapai 5 orang) agar dana pengawasan yang disebutkan tadi bisa dicairkan. Inilah rantai setan yang sengaja menggiring orang ybs untuk melakukan apa yang disebut ‘ Kesalahan Terpaksa’. Apakah untuk pengaspalan jalan 1 km misalnya, diperlukan tenaga yang banyak? saya rasa tidak, satupun cukup. Kalau cuma satu yang mengawas, mengapa yang dibayar harus banyak? tak dapatkan sistem tersebut disesuaikan dengan kondisi yang pastinya berbeda antara satu dan yang lainnya. Sistem yang salah tersebut malah mengakibatkan munculnya budaya ‘Pencatutan Nama’ yang marak terjadi dan mungkin sudah menjadi pola hidup karena terbiasa dan sudah membudaya.
Akibatnya, tentu saja akan fatal. Diakibatkan oleh peraturan tersebut, dana yang seharusnya dapat diminimalisir pastinya akan selalu membengkak. Lalu SDM yang malas akan tetap saja malas karena merasa dengan kemalasannya tersebut masih tetap mendapatkan uang karena masih memungkinkan orang mencatut namanya. Miris sekali, padahal yang dibutuhkan negara saat ini adalah etos kerja yang baik oleh para pegawai negeri dalam melaksanakan tugasnya. Kemudian, lama kelamaan (atau mungkin sudah terlalu lama) akan mengakar dan mengurat syaraf sehingga budaya ini akan sulit dibersihkan kedepannya.
Sebenarnya banyak juga para pegawai negeri yang menyadari hal ini, namun karena terkendala dengan birokrasi. Maksud terkendala dengan birokrasi adalah sistem birokrasi itu sendiri yang membuat orang ‘terpaksa’ melakukan pencatutan nama ini. Bagaimana caranya? yah ubah sistem dan regulasinya. Apakah semudah itu? tentu saja tidak. Masih banyak juga orang yang hidup dalam kondisi nyaman dan ingin mempertahankan status quo ini. Itu merupakan salah satu yang akan menjadi duri dalam daging menuju perubahan bangsa. Dan faktanya, sistem proyek ini terjadi dari Sabang – Merauke, di seluruh pelosok negeri. Mungkin, Anda yang yang mengusung tema perubahan haruslah siap-siap menghadapi para status quo-ers yang mungkin sudah membatu kepala dan hatinya sehingga tidak mampu membedakan mana yang baik maupun yang benar.
Juga bukan hanya terjadi dalam proyek saja, perjalanan dinas dan aktivitas-aktivitas yang lainpun sudah menjadi kegemaran para oknum di negara ini untuk menjadi lumbung uang sakunya dengan pencatutan nama tersebut. Yah, kalau bukan kita yang mengubahnya, siapa lagi? Monyet?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar