Minggu, 27 Maret 2011

Uang Keamanan/Ketertiban/Kebersihan di Bandung atau Entah Apapun Namanya

Kali ini saya akan membahas tentang fenomena sosial yang terjadi di masyarakat kecil di kota Bandung dan sepertinya sudah menjadi kebiasaan umum di tempat-tempat lainnya. Bagi Anda yang berminat dan bercita-cita ingin menjadi Entrepreneur/Bisnisman, sepertinya harus mengetahui tentang femonena ini. Berawal dari kebiasaan saya bertanya tentang biaya yang dikenakan oleh orang tertentu kepada para penjual/pedagang kecil yang ada di sekitar Dago dan Cieumbeluit, akhirnya timbul keinginan saya untuk mempelajari lebih jauh tentang fenomena ini.

Beberapa hari sebelumnya, saya makan di kaki lima simpang Dago. Tempatnya cukup nyaman, masakannya enak dan pembelinya juga ramai. Saat itu saya menanyakan berapa iuran yang dikenakan oleh ‘petugas’ sekitar terhadap warung tersebut. Ternyata setiap harinya, mereka dikenakan 6.000 rupiah. Angka yang cukup besar bila diakumulasikan selama sebulan yaitu sekitar 180.000 rupiah. Angka tersebut adalah biaya keamanan yang dikenakan kepada pedagang kecil yang margin keuntungannyapun tidak seberapa besar. Toh, masih dikenai uang keamanan sebesar itu.

Sebenarnya untung pedagang kaki lima yang dagangannya laris, angka tersebut tidak begitu besar. Namun bagaimana dengan pedagang lainnya yang mungkin dalam satu hari berjualan hanya mendapat kurang dari sepuluh pembeli. Saya rasa terlalu menyakitkan bila mereka masih dikenai biaya-biaya tersebut.

Keesokan harinya, saya berencana memotong rambut di DPR (dibawah Pohon Rindang) jalan Kidang Pananjung. Di jalan tersebut dipenuhi banyak warung-warung dan pemangkas rambut tradisional. Sembari menikmati pijatan-pijatan dari pak pemotong rambut, saya menanyakan berapa iuran yang mereka bayar. Di tempat tersebut, iuran dikenakan oleh Pak RT/RW-nya. Tujuan iurannyapun lumayan baik yaitu sebagai kas RT/RW yang nantinya dipergunakan untuk perbaikan jalan Kidang Pananjung yang sudah rusak parah dan lain-lain. Iurannya juga tidak terlalu besar yaitu 1.500 perak perhari atau sekitar 45ribu perbulan.

Namun, kekhawatiran saya mulai muncul mengingat adanya seorang wanita tua yang berjualan di daerah kantor RT yang sudah dikosongkan. Saya melihat Ibu tersebut sangat jarang mendapatkan pembeli. Biasanya saya menyempatkan membeli roti, buah-buahan, kerupuk yang Ibu tersebut jual jika masih memiliki uang tentunya, maklumlah saya bukan tergolong mahasiswa yang berkecukupan sehingga harus mempergunakan uang dengan hemat.

Hampir setiap hari saya melewati tempat ini dan saling berteguran dengan Ibu tersebut, seakan seorang anak yang pamit dengan Ibunya dan Ibu tersebut membalas dengan sapaan ‘Berangkat Den, yang selamat di jalan yah!, ini ada roti masih baru’. Kalau lagi terburu-buru, saya biasanya langsung pamit pergi. Kalau ada waktu saya mampir untuk membeli.

Nah, alhamdulillah! Sepertinya RT di tempat tersebut tidak mewajibkan bayaran kepada Ibu ini. Akhirnya saya lega. Tapi ini masih kisah di daerah Dago. Pengamatan saya selanjutnya adalah daerah Cieumbeleuit. Di persimpangan daerah tersebut, banyak berjejelan para pedagang. Maklumlah, dulu di tempat tersebut adalah para tradisional yang cukup digemari masyarakat. Sekarang sepertinya pengunjung pasar tersebut sudah berkurang.

Yang menjadi tempat bertanya saya adalah seorang pedagang buah. Penjualnya adalah seorang wanita tua juga. Saya kerap memanggilnya dengan sebutan ‘Ibu’. Beberapa kali saya sempat membeli pisang kecil di tempat tersebut untuk menjadi santapan bersama-sama ScadaSquad yang sedang berada di Lab-SCADA ITB. Sebelum membeli kali ini, saya memperhatikan ketika Ibu tersebut memberikan buah Jeruk gratis kepada seorang Balita yang sedang bersama kakeknya. Ternyata kakek tersebut menawar Jeruk yang diinginkan balita dengan merengek-rengek. Akan tetapi karena tidak terjadi kesepakatan harga, kakek tersebut tidak jadi membeli. Karena iba melihat anak tersebut, si Ibu penjual memberikan sebuah Jeruknya ke anak tersebut. Sang kakek mencoba menolak, namun akhirnya si Ibu tetap memaksa memberikan jeruk kepada balita tersebut.

Yah, seorang pedagang kecil yang memiliki hati yang besar. Keuntungan materi bukan tujuannya semata. Kali ini, saya membeli buah pisang itu lagi. ‘Bu, pisangnya ½ kilo yah!’. Pisangpun ditimbang dan karena kurang, Ibu tersebut mengambil beberapa pisang lagi. Setelah memberikan uang, saya menanyakan darimana Ibu tersebut mendapat pasokan buah. Ternyata dari Pasar Ciroyom. Salah satu pasar Induk terbesar di Bandung dimana aktivitasnya mulai ramai ketika malam sampai dini hari. Obrolan kamipun dimulai.

‘Bu, di tempat ini dikenakan biaya berapa?’

‘Oh, besar banget mas. Meski gak dapet pelanggan tetap saja saya harus bayar’

‘Bayarannya itu, ada bayaran harian, mingguan dan setengah bulanan!’

‘Bayaran harian dilakukan dua orang, setiap orang bayarannya seribu berarti sehari musti bayar dua ribu. Lalu ada bayaran mingguan yaitu 2 ribu perminggu dan ada bayaran dua mingguan yaitu 10ribu’

‘Wew!, gede banget Bu. Berarti kalau di totalin bisa nyampe 88ribu dong. Emang untungnya berapa dari penjualan buah ini? ‘

‘Kalau mikirin untung sih mas, gak tentu. Kadang bisa dapet banyak kadang gak dapet sama sekali’

‘Saya beli pisang ini dari Ciroyom itu 3.500/kilo. Saya jual 4.000/kilo disini. Itu belum ongkos capeknya, ongkos transportasinya, terus lagi kalau udah dianter ksini beratnya jadi berkurang mas!’

‘Trus Bu, kok gak dinaikkan harganya?, kalau kayak gitu Ibu gak akan dapet untung dong. Yang ada malah rugi’

‘yah, mau gimana lagi mas. Saya sih pengennya pulang kampung ke Jawa. Mumpung ga ada kerjaan, saya jualan aja disini. Kalau ngantuk yah tinggal tidur. Tuh, di pojok sana’ Sembari Ibu tersebut menunjukkan tempat tidurnya yang sempit di sisi kosong tempat dagangannya.

Dengan kondisi seperti ini, kita dapat membuat gambaran sendiri tentang bagaimana susah dan menderitanya para pedagang kecil yang berusaha menyambung hidup dengan adanya bermacam-macam biaya yang dikenakan kepada mereka. Biaya yang juga harus mereka keluarkan meskipun pembeli yang dinantikan tak kunjung datang satupun di hari tersebut.

Yah, itulah diatas sekelumit perjuangan masyarakat kecil dalam mencari nafkah. Keringat dan airmata yang mereka keluarkan demi menyambung hidup diri dan keluarga mereka. Anak-anaklah yang menjadi semangat mereka untuk tetap berdagang dan berjualan. Nah, tuh! Bagi Anda yang merasa masih punya orangtua dan berjuang keras demi keberlangsungan hidup Anda. Mulailah untuk sedikit tahu diri dan menyadari akan perjuangan mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar